Jumat, 07 Januari 2011

Ekstase Teo-Pose


Aku tak ingin ini hanya menjadi sekedar hubungan
Aku mengenal mu...Engkau pun begitu
Lalu kita sama-sama terjebak dalam etos kuno sebuah jalinan
Dua pihak dengan lambang hati merah jambu

Tidak! Aku ingin lebih dari itu
Persepsi baru yang akan ku monopoli
untuk ku tasbihkan kepada mu

Yang lebih mesra dari epilog malam menjelang fajar
Yang sangat syahdu hingga kata-kata tak mampu berujar

Bagaimana jika semua ini kita buat senyaman mungkin?
Dengan catatan bahwa kau masih satu yang harus ku yakin

Bagaimana caranya?
            (Kumpulan Keledai Bersorban itu pasti bertanya demikian)

Kalau mereka hendak membuka mata dan logika
Maka ini semua akan coba ku reka
Tapi jika tidak
Maka tinggalkan saja mereka dalam congak
Biar terus sibuk menggeliat dan merangkak

Pemahamannya mudah saja
Aku akan menjadi hamba dan kau tetap raja
Lima waktu sehari kau ku puja
Namun jangan larang aku tuk menggelayut manja
Dalam kebesaran mu yang bersahaja

Semua titah mu ku penuhi
Yang kau benci pun akan ku jauhi
Segala macam tingkah laku ku benahi
Semoga engkau kan memberkahi

Petunjuk mu akan coba ku pahami
Petuah lain pun akan ku ikuti
Dari saran bijak perwakilan mu di bumi
Hingga pedoman lain yang darinya ia terilhami

Sederhananya
Kau perintah aku menggubah
Kau larang aku mencegah
Bukan dengan ancaman menakutkan
Melainkan kebutuhan ku kepada mu yang menentukan


Bagaimana?
Menarik bukan, wahai TUHAN?


(Jakarta, Di ujung Ramadhan yg diperkosa Budaya Kota)




N.B:

        Sajak ini saya buat dengan mencoba mendambakan akan sebuah jalinan Hamba dan Tuhan, seperti yang dulu pernah dijalani oleh para sufi kebanyakan!  Menjadikan Tuhan sebagai 'Kekasih' yang dirindukan, Bukan pihak 'Penebar Hukuman'. Menganggap Al Qur'an dan Sunnah sebagai 'Kumpulan Petunjuk Mencerahkan', bukan kitab pedagogis 'Penuh Ancaman'...!!! Terlalu lancang sebenarnya bagi saya untuk mereposisikan secara harafiah makna tersebut secara kontemplatif personal! Karena Dosa masih merupakan 'Nama Tengah' saya, dan tingkat kezuhudan para sufi tersebut bahkan belum mampu saya bayangkan ketinggiannya! Namun saya mencoba menjadikan sajak ini sebagai sesuatu yang biasanya di lakukan oleh para Koleris-Melankolis dalam melihat kandungan nilai yang berharga pada sebuah karya, yaitu menganggapnya sebagai "Stimulus Verbal" yang mendorong dan memotivasi dirinya untuk menjadikan 'Nilai yang berharga' tersebut menjadi sebuah usaha yang menyenangkan, dimana hasilnya sangat di dambakan!

      Maka sederhananya, saya hanya ingin membuat ini semua sebagai stimulus potensial yang harus direspon dengan logika! Bahwa ibadah bukan lah 'Kewajiban', tapi 'Hak' saya (atau siapapun) yang ingin mendekatkan diri pada DIA yang Tercinta (Tuhan). Semoga Kecintaan kita Pada-NYA juga merupakan wujud Cinta-NYA pada kita! Semoga pemahaman ini mampu menjadikan diri kita masing-masing sebagai satu dari sekian banyak "Pembelajar" terbaiknya, dalam menghadapi hidup sebagai "Sekolah" dari NYA, Amin!

Vale, Tabik!

(Prazetya Belati Putra)

Tanda Tanya untuk Tuhan ???

“Apakah benar Tuhan itu dapat melihat semua penderitaan mahluk ciptaanNya? Yang dianggap ‘Sempurna’, tapi tak sempurna selain Tuhan?” Anto bertanya kepada bapaknya.

Bapaknya yang mendengar langsung terbelalak, lalu membisu, namun Anto tetap bertanya dengan suara yang lantang,

“Dengan masih adanya penderitaan manusia di muka bumi kita ini, saling menindas, saling membunuh, mengambil hak seseorang seenak perutnya, apakah karma seseorang itu yang menyebabkan manusia itu menderita? Apakah Tuhan menciptakan kita untuk menikmati karma itu sendiri yang malah membuat kita semakin menderita? Apa salah mereka, jikalau mereka mempunyai karma buruk di masa lalu, perbuatan yang mereka lakukan pada saat masa lalu mereka pun tidak menyadarinya!” Anto masih berapi-api mengatakan hal tersebut.

“Mereka tidak bisa merekam ataupun melihat perbuatan mereka selayaknya menonton sebuah pertunjukan film di bioskop, dengan melihat seorang aktor ataupun aktris dengan peran yang dibawanya lalu mulai menyadari ataupun merenungi kesalahan kita yang disebut dengan ‘Dosa’! Namun, dosa itu bukan layaknya sepuntung rokok, sebuah donat, ataupun secarik kertas yang sudah kita ketahui bagaimana bentuknya dan ‘Rasa’ dari dosa itu!” kata Anto selanjutnya.

Bapaknya semakin tercenggang mendengar pertanyaan-pertanyaan anaknya yang belum bisa dijawabnya. Namun anaknya tak menghiraukan ekspresi bapaknya tersebut. Dilontarkan lagi semua pernyataan yang ia miliki kepada bapaknya,

“Layaknya seorang penemu, lahirlah sebuah ‘Karya’ yang disebut ‘Agama’!  Agama membuat orang tergila-gila dan memuja agama itu layaknya seorang penyanyi dengan suaranya yang merdu yang membuat mereka megidolakannya! Namun, ada pertanyaan pak, Apakah benar agama itu membuat kita lebih dekat dengan Tuhan? Dapat membuat manusia selalu menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan? Tapi mengapa agama membuat seseorang merasa didiskriminasikan? Terjadi konflik berdarah antar manusia akibat agama? Apakah Tuhan mengajarkan hal itu?” Anto lebih terlihat mencerca daripada bertanya saat ini.

“Pertanyaan itu timbul karena aku melihat keadaan realita yang ada, bagaimana agama sangat sensitif dalam menimbulkan konflik! Manusia yang mengatas-namakan dirinya adalah penyembah Tuhan malah melakukan tindakan kekerasan, menghujat sesama manusia, dan melakukan tindakan yang tidak terpuji lainnya!”

“Pertanyaan lain timbul pak, dimana agama mengajarkan kita akan keberadaan dua buah tempat setelah kita mati, yaitu surga dan neraka! Dimana Surga digambarkan layaknya sebuah tempat yang begitu indah, berkumpulnya ‘Orang-orang’ baik, begitu damai! Sedangkan neraka digambarkan layaknya sebuah tempat penyiksaan,! 100 kali lebih kejam daripada kengerian cerita mengenai siksaan Nazi terhadap bangsa Yahudi! 1000 kali lebih kejam daripada terkena sebuah bencana! Itulah gambaran sebuah surga dan neraka. Mengapa surga diciptakan saat kita sudah mati? Apakah kita tidak boleh menikmati surga saat kita masih hidup? Tapi ke-neraka-an dapat kita rasakan di dunia dimana kita hidup dan dunia dimana kita mati, mengapa?”

Sang bapak pun tidak bisa lagi menahan amarahnya, serentak dia memaki-maki anaknya,

“Nak…! Apa kau sudah gila, berbicara seperti itu? Apa yang telah kau baca atau kau terpengaruh omongan setan, sehingga kau begitu lancang berani menghujat Tuhanmu dan berani meremehkan akan adanya sebuah agama di dunia ini?”

Anto pun hanya menjawab dengan tenang,

“Aku tidak gila pak, aku pun tidak dirasuki jin ataupun setan manapun! Aku hanya ingin mengetahui kebenarannya saja, sebagai seorang manusia dan mencari sebuah makna kehidupan, dalam selubung kemunafikan manusia-manusia yang bersembunyi dibalik ‘Jubah’ mereka, dimana di belakang jubah mereka tersebut ada sebuah lambang-lambang yang agung, namun mereka biarkan ‘ludah-ludah’ tertempel di lambang-lambang itu! Aku pun ingin melihat surga dan neraka itu tanpa sebuah kematian, Dimana semua manusia takut akan neraka dan selalu ingin surga!” kata Anto masih dengan kegusaran dalam setiap pertanyaannya tersebut.

Dengan ketakutan itu adakah yang menyembah Tuhan tanpa mengharapkan surga? lalu bagaimana dengan semua yang mengaku ahli akan pemahaman agama, namun mereka semua ternyata adalah orang-orang yang penuh kemunafikan? Bapak, Patutkah aku dilahirkan hanya untuk menerima dikte-dikte dan kebusukan-kebusukan dunia ini? Bahkan aku tak tahu kelahiranku ini sebuah kebenaran atau kesalahan? Teman dan guruku di sekolah hanya berkata, takdir…takdir….dan takdir, tapi menurutku itu kata-kata dari orang-orang yang sudah putus asa atau tidak tahu sama sekali arti hidupnya! Memaknai hidup pun serasa sulit karena kita sulit mencari kebenaran!"

“Pak, air mata pada diriku kebanyakan hanya mengeluarkan tangisan kesedihan dan kebingungan! Apakah Tuhan juga ikut menangis saat hidup kita penuh penindasan? Dan apakah Tuhan juga ikut binggung dengan mahluk cipatanNya sendiri?”

 Setelah Anto berkata itu dia pun beranjak masuk kekamarnya, ayahnya hanya mengelah nafas dan binggung tak bisa berkata apa-apa lagi. Sang ibu yang sedari tadi terdiam di depan pintu masuk rumah karena baru saja pulang dari pasar,  yang tanpa sengaja mendengar semua perkataan dan pertanyaan anaknya, langsung jatuh pingsan.

(Prazetya Belati Putra)



Holy Are You - Rakim Lyrics



[Chorus]
Holy are you
Holy are you
There is no God but you (ah huh)
There is no God but you
...(I need to talk to y’all for a minute)
Praised be the Lord
...(And be serious for a minute)

Holy are you
Holy are you
There is no God but you
There is no God but you (Rakim Allah)

G-O-D, the God MC
Yeah!

For those who find it hard to believe, and it is
Why they call me the God MC, the lyricist
Trace this down to the roots from Genesis
The world wonder, I’m still standing like pyramids

Design so vivid, every brick it got a story to tell
My rhyme flow different like a hieroglyphic
Mind prolific, infinite, like mathematic
The first language, now add that, and add graphics (Go ‘head)

Then go let the blocks know it’s the gospel
Life’s new manual, so watch close
The new Michaelangelo and Pablo Picasso
Prepared to show you the cosmos and rock flows

Even my lyrical metaphysical
What this’ll do is help you get to your spiritual pinnacle

You find your mind too far-fetched for it to fathom
I bring the darkness to the light, split the atom

It’s like watching the big bang theory emerge
I take titles, bond them to reveal new words
They want a clear view
From the farthest and the darkest corners of the universe
To a corner near you

A pharaoh in ghetto apparel, stay blinged up
Fort Knox display, a modern day King Tut
Wrapped tight, rap like I’ve been preserved in time
Spit the holy water, then touch it and turn it to wine
It’s the God

[Chorus]
Holy are you
Holy are you
There is no God but you (I am, I am the Alpha and Omega)
There is no God but you
Praised be the Lord...

We were children of the most high, so we fell
From paradise to holy hell
Probably descendants of the Holy Grail
Another part of history they won’t reveal
Times’ll only tell

You waiting for Judgment? It came
In the form of a thug in the game
To create a strong position, there’s blood in my vein
The chemical is identical, we one and the same
With seven letters in all three of my government names

Walk on water? Nah, neither did Jesus
It’s a parable to make followers and readers believers
From Egypt to Budapest, Rakim is the truest left
Understand the Scriptures like the minister Louis F

I told you who God is, you ignored me like most the prophets
Jesus, Solomon, Abraham, Moses and Muhammad (Saw)
I showed the scholars, we’ll fulfill the broken promise
I spit this truth to predict the future like Nostradamus

Like Revelations, I’m hoping my quotes reveal
The seven spirits of God when I open the seal
Interpret the holy Qu’ran, these flows will guide you
Translate the Torah, and decode the Bible
Warn the elders in the mosques, ma-sons, and the law
The seven churches, the synagogues, it’s the Renaissance
Skin is bronze, like the Messiah
Rakim Allah’s ’bout to reveal a bigger secret than time and the God

[Chorus]
Holy are you
Holy are you
There is no God but you (I want to challenge you)
There is no God but you (and soon I will challenge you)
Praised be the Lord (I am, I am the Alpha and Omega)

Rakim Allah The God MC
Peace




Kamis, 06 Januari 2011

Alegori Masyarakat Komunis Dalam Komik Smurf



Makhluk biru mungil itu menempati rumahnya yang berbentuk seperti jamur. Mereka hidup bersama di sebuah desa antah-berantah pedalaman hutan Eropa. Mereka hidup rukun dan masing-masing menjalankan fungsinya dengan baik dalam masyarakat. Mereka punya bahasa sendiri yang mengganti kata kerja dan kata sifat dengan identitas bangsa mereka… Smurf!

Komik Belgia karangan Pierre Culliford, populer dengan nama pena; Peyo, sempat populer di Indonesia pada tahun 1980-an, bahkan pada saat itu sebuah stasiun televisi swasta sempat menayangkan film kartunnya selama beberapa waktu. Bahkan, sebuah jaringan restoran multinasional mengadopsi mainan figurnya sebagai hadiah menu khusus yang diperuntukkan bagi anak-anak.

Puluhan tahun sesudah masa kejayaan Smurf di Indonesia berlalu, anak-anak yang dulu mengkonsumsi kisah di Desa Smurf itu beranjak dewasa dan melihat kebobrokan bangsa ini. Tidak seperti generasi sebelumnya yang terhegemoni politik scapegoating Orde Baru, mereka justru jauh lebih akseptif terhadap wacana-wacana gerakan berideologi kiri. Sebagai antitesa atas kegagalan ideologi yang dianut pemerintah despotik, sosok Karl Marx dan Che Guevara hadir bagai pahlawan di tengah mereka.

Bisa jadi, penerimaan kaum muda terhadap ideologi kiri tersebut terjadi karena sejak kecil mereka sudah mendapat gambaran ideal mengenai pola kehidupan masyarakat sosialis melalui komik Smurf.

Komunalisme Desa Smurf

Kehidupan di Desa Smurf telah menggambarkan dengan sempurna praktek sosialisme utopis yang ada di dalam kepala Marx, dengan menggambarkan sebuah komune yang dikelola secara kolektif di bawah pimpinan sang revolusioner tunggal bernama Papa Smurf.

Di desa itu semua Smurf bekerja sesuai profesi pilihannya dengan suka cita dan hak yang sama tanpa harus mengenal sistem mata uang --benar-benar sebuah kondisi yang ideal bagi kaum komunis.

Secara ekonomis, Desa Smurf seperti sebuah pasar yang tertutup, tidak mengenal mata uang, dan semua menjadi milik bersama --properti publik. Setiap Smurf adalah pekerja sekaligus pemilik. Para Smurf menolak ide pasar bebas, karena keserakahan dan ketidakadilannya, dan kepentingan kolektif lebih penting dan lebih berharga daripada kepentingan individual.

Ancaman Kontra Revolusi

Seperti layaknya negara komunis di dunia ini, Desa Smurf pun tidak lepas dari bayang-bayang masalah. Di bagian hutan yang lain hidup Gargamel, seorang perjaka tua jahat yang hidup bersama kucingnya yang setia, Azrael. Gargamel dengan kemampuan sihirnya ingin melebur para Smurf yang dipercayainya sebagai bahan baku untuk membuat emas. Sementara Azrael hanya semata ingin merasakan kenikmatan daging para Smurf.



Dalam hal ini Gargamel dapat digambarkan sebagai negara-negara kapitalis yang melihat segalanya sebagai potensi komodifikasi. Kebetulan pula, sejarah menunjukkan emas adalah salah satu komoditas yang menjadi daya tarik penjelajahan kaum imperialis. Semua yang buruk tentang kapitalisme ada pada Gargamel. Ia rakus, kejam, dan hanya mempedulikan kepuasan dirinya sendiri. Dia adalah contoh manusia yang lebih mengutamakan kepentingan individual di atas kepentingan masyarakat yang dihidupinya. Bukan kebetulan juga kalau ternyata ia adalah seorang perjaka tua yang tinggal dalam kastil di tengah hutan dengan hanya ditemani seekor kucing.

Secara metafor, ia ingin menghabisi sosialisme, sama seperti yang dilakukan negara barat terhadap Sovyet dan negara-negara satelitnya selama perang dingin. Kemudian sebagai seorang kapitalis sejati, ia berharap bisa menjadikan segalanya sebagai komoditas --termasuk makhluk hidup lain. Bahkan rencana kedua yang akan dilakukan Gargamel terhadap para Smurf adalah ia ingin mengubah mereka menjadi bongkahan emas secepatnya setelah ia berhasil menangkapnya. Sebagai seorang kapitalis, ia lebih mempedulikan kesejahteraan dirinya sendiri daripada kesetaraan dan keadilan. Sudah menjadi sifat alaminya untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin.

Kucing peliharaan Gargamel, Azrael, mewakili serikat pekerja mandul di negara-negara yang menganut sistem pasar bebas. Ia tidak pernah mengeluh karena memang ia tidak punya suara. Ia tidak bisa menegoisasikan gajinya --ia makan apa saja yang disuguhkan majikannya. Dan karena tubuhnya berukuran lebih kecil dan tidak lebih kuat dari Gargamel, maka ia juga mewakili kaum proletar, sementara Gargamel mewakili kaum borjuis. Azrael dieksploitasi dan ditindas. Ia mempertaruhkan nyawanya untuk melakukan pekerjaan berbahaya yang tidak bisa dilakukan majikannya dan tidak memiliki kapasitas intelektual untuk mempertanyakan masalah ini, sama seperti para pekerja yang menderita nasib buruk yang sama selama berabad-abad karena kurangnya pendidikan yang didapatkannya, dan ia tidak punya pilihan lain selain menghamba pada majikannya.

Konflik Internal

Nampak usaha untuk menunjukkan betapa idealnya kehidupan kolektif di bawah satu pimpinan ini digambarkan dengan jelas dalam salah satu serinya yang berjudul Smurfuhrer, dimana konflik khas Marxian klasik antara pemerintah yang jahat dan menindas --dimana pemimpin (dan kapitalis) yang rakus mengeksploitasi masyarakat untuk kepentingannya sendiri; dipertentangkan dengan politik egalitarian ideal yang telah di formulasikan oleh Marx-- kesemuanya digambarkan dengan baik.

Di situ diceritakan Papa Smurf harus menempuh perjalanan panjang untuk mencari bahan ramuan ajaibnya. Sepeninggal Papa Smurf, para Smurf yang lain mengadakan pemilihan untuk memilih pengganti Papa Smurf, lalu terpilihlah satu Smurf sebagai pemimpin. Tapi ternyata ia menjadi otoriter dan menimbulkan gelombang pemberontakan dari para Smurf yang lain untuk menggulingkan kekuasaannya.

Hasilnya? Desa Smurf itu pun jadi rusak akibat insureksi yang di jalankan milisi pemberontak itu, dan desa yang utopis itu baru pulih kembali setelah Papa Smurf pulang di saat pertarungan sengit antara para Smurf sedang terjadi. Dalam hal ini, Papa Smurf, sebagaimana juga dengan Marx, telah mewakili bentuk Marxisme yang ideal dengan menampilkan gambaran ketergantungan masyarakat yang butuh sosok pahlawan pelopor (avant garde) revolusioner yang bisa dijadikan panutan dan pemimpin yang maha hebat.

Representasi Penokohan

Secara visual pun ditemukan kemiripan antara karakter penghuni Desa Smurf dengan tokoh ideologis mazhab kiri di dunia nyata. Figur pemimpin desa, Papa Smurf, dengan jenggotnya yang lebat akan dengan mudah mengingatkan pada sosok Karl Marx. Jangan lupa pula, Papa Smurf adalah satu-satunya penghuni Desa Smurf yang menggunakan pakaian bewarna merah –warna tradisional kaum sosialis.



Satu lagi karakter dalam Desa Smurf yang memiliki kemiripan tersebut adalah Smurf Kacamata. Kacamata bulat yang dikenakannya mengingatkan pada sosok Leon Trotsky, salah seorang pentolan partai Bolshevyk yang terjegal setelah Stalin mengambil alih tampuk kekuasaan. Dalam kisahnya digambarkan Smurf Kacamata sebagai seekor Smurf dengan kecerdasan yang hampir menyamai Papa Smurf. Namun, sikapnya yang sok tau dan sombong membuatnya sering jadi bulan-bulanan dan bahan cemoohan para penghuni Desa Smurf lain, sama seperti nasib Trotsky yang kemudian mati terbunuh dengan alat pemecah es (menurut salah satu versi yang bericara mengenai riwayat akhir kehidupannya. -pen) dalam pengasingannya di Meksiko.

Di balik akronimisasi S.M.U.R.F

Menurut pencipta aslinya, komik ini berjudul Les Schtroumpfs yang berasal dari bahasa Prancis. Namun kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa sebagai Smurf. Apa arti kata “Smurf” itu? Para fans, mungkin sebagian di antaranya adalah penganut teori konspirasi, mempunyai dua dugaan. Satu, nama S.M.U.R.F. adalah kependekan dari Socialist Men Under Red Father. Dua, kepanjangan dari nama S.M.U.R.F. adalah Sovyet Militants Under Red Faction.




Medium adalah Pesan

Sekurang-kurangnya, Peyo berhasil menggambarkan teori Marxisme dalam bentuk kisah dongeng yang alegoris. Jauh dari gagal, komik Smurf pada akhirnya telah berhasil menyebarkan pesan dengan baik, dengan bias kehidupan nyata yang kita alami, jauh lebih baik daripada yang pernah literatur fantasi lainnya coba lakukan. Boleh saja sebagian besar ide dalam komik ini terinspirasi ideal Marxisme utopis, karena, walaupun ia tidak menggambarkan dunia secara nyata dan juga apa adanya dengan segala kompleksitasnya, kita masih bisa membayangkannya dalam ilustrasi-ilustrasi serta berbagai personifikasi di dalam kisah desa komunal tersebut.

Sekarang mungkin kita bisa tahu kenapa kaum muda bisa lebih menerima gagasan utopis dari generasi sebelumnya. Wallahualam.


-dari berbagai sumber.-

Rabu, 05 Januari 2011

Straight Edge Movements

STRAIGHT EDGE! Apa kalian pernah mendengar istilah ini ...

atau mungkin banyak dari kalian yang masih asing dengan kata-kata ini, bahkan masih bertanya-tanya sebenarnya apa itu Straight Edge?

Straight Edge merupakan suatu pergerakan anak muda di era tahun 80’an yang merasa muak dengan kelakuan para anak-anak band punk rock atau hardcore, yang pada saat itu cenderung sangat hedonis! Artinya kehidupan mereka deket banget dengan istilah-istilah urakan, amoral, free sex, drugs, alcohol dan hal-hal negatif lainya.

Pergerakan straight edge diawali oleh seorang vokalis band hardcore/punk Minor Threat, yang bernama Ian MacKaye. MacKaye mencetuskan straight edge pada tahun 1981 dengan tujuan ingin menghilangkan citra negatif yang pada masa itu sangat melekat dengan genre/jenis musik yang dia anut (Punk Hardcore).



Konsep straight edge sendiri adalah menghindari segala sesuatu yang bersifat merusak diri seperti rokok, alkohol, drugs dan berhubungan seksual pranikah. MacKaye beranggapan dia suka dengan musik punk/hardcore tapi dia enggan dengan gaya hidup yang mereka jalani. Sebagai langkah awal MacKaye dengan band-nya Minor Threat menulis sebuah lagu yang berjudul straight edge. Simak liriknya:

I’m a person just like you
But I,ve got better things do
then sit around and f**k my head
hang out with the living dead
snort white shit up my nose
pass out at the show
I don’t even think about speed 
that’s something I just don’t need 

I’ve got the straight edge.

I’m a person just like you 
But I,ve got better things do 
then sit around and smoke dope 
cause I know that I can cope 
laugh at the thought of eating ludes 
laugh at the thought of sniffing glue 
always gonna keep in touch 
never want to use a crutch 

I've got the straight edge…


Bagian refrain yang dinyanyikan berulang-ulang terlihat jelas seolah-olah MacKaye ingin sekali mengajak orang untuk mengikutinya dan selanjutnya mengklaim diri mereka sebagai straight edger (para pengikut gerakan straight edge).

Straight edge sangat-sangat identik dengan lambang “X” yang digambar di bawah punggung tangan para pengikutnya, konon awalnya kebiasaan menggambar lambang “X” di punggung tangan adalah kebiasaan anak-anak dibawah umur di Amerika sana yang datang ke club-club di Washington D.C, untuk memberi tanda bahwa mereka masih belum boleh meminum minuman beralkohol sesuai dengan aturan legal dringking yang berlaku disana.

Selain kebiasaan menggambar lambang “X” di punggung tangan mereka, para straight-edger juga identik dengan lambang “XXX” (xStraightxEdgex), atau dengan gaya penulisan nama yang di selangi lambang “X”, sebagai contoh, vokalis dari salah satu band hardcore di Bandung Komplete Kontrol yaitu xDanielx. Arti dari XXX sendiri untuk X yang pertama adalah untuk tidak merokok, X yang kedua berarti tidak nge-Drugs atau mengkonsumsi minuman beralkohol atau yang bersifat memabukan, sementara X yang ketiga berarti tidak melakukan hubungan sex pranikah.



Perkembangan Straight Edge di dunia semakin berkembang dari tahun ketahun sesuai dengan Era-nya masing-masing. Era pertama adalah era Oldskool pada tahun 1980-an yaitu era dimana Ian MacKaye pertama kali mencetuskannya dan pada saat itu yang dihindari berkisar drugs (alkohol dan narkoba), rokok, dan hubungan sex di luar nikah. Setelah itu lahir Era baru yang banyak dikenal dengan sebutan Youth Crew. Straight Edge pada era ini tidak jauh berbeda dengan era sebelumnya hanya menambahkan unsur Veganism dan Animal Liberations dimana para straight edger di era ini mulai menjadi Vegetarian. Era ini diperkenalkan oleh salah satu band hardcore Youth of Today dengan Ray Cappo’ sebagai vokalisnya. Tidak kalah dengan Minor Threat band ini juga menuliskan sebuah lagu dengan judul No More; “meat eating, flesh-eating, think about it so callous this crime we commit”. Selain Minor Threat dan Youth of Today masih banyak juga band-band lain yang mengklaim mereka sebagai straight-edger antara lain xLooking Forwardx, BOLD, Gorilla Biscuits, Project X dll.

Untuk era selanjutnya berawal pada tahun 1990-an. Pada saat itu muncul para straight-edger yang agak ekstrem, mereka memberi nama straight edge hardline. Mereka sangat agresif dan agak sedikit rasis terhadap para pemabuk atau non straight edge. Pada saat itu citra straight edge menjadi buruk sehingga istilah “straight is’nt cool anymore” tersebar di kota Washington D.C. Namun straight hardline tidak bertahan lama pada akhir 1990-an kembali hadir para straight-edger yang kembali menawarkan hidup bersih tanpa kekerasan. Straight edge pun kembali diterima di masyarakat.


Selasa, 04 Januari 2011

Ketika "A" bukan lagi sebatas huruf, melainkan...

“Saya adalah seorang anarkis bukan karena saya percaya dengan anarkisme,
tapi karena saya percaya bahwa tidak ada suatu tujuan akhir!”
-Rudolf Rocker-



Visi-visi anarki adalah ideal-ideal yang kemudian dijelaskan sebagai kemungkinan dan potensi eksistensi umat manusia. Perkembangan selanjutnya, melalui beragam reinterpretasi, akan menemui beragam artikulasi anarki yang menekankan pada kontinuitas perjuangan yang tanpa batas untuk memperluas lingkup kebebasan, yang secara konsiten didasari pada:

Penentangan terhadap otoritas.

Pada umumnya penentangan anarkis terhadap otoritas terkait pada penentangannya terhadap institusi negara dan institusi agama. Namun penentangan anarkis terhadap otoritas meluas sebagai suatu penolakan terhadap keterasingan manusia (yang diatur oleh otoritas tersebut) terhadap kemampuan, potensi dan hasrat/kehendak manusia itu). Maka penolakan terhadap keterasingan ini juga mencakup penolakan terhadap segala bentuk otoritas yang tidak dapat dilegitimasikan dengan alasan rasional, termasuk bentuk-bentuk kepemimpinan dan perwakilan. Meskipun pada dasarnya anarki menentang otoritas, tentunya terjadi pengecualian-pengecualian dalam kondisi-kondisi kritis ketika kepemimpinan dan perwakilan yang bersifat temporer tidak dapat dihindari.

Pada konstruksi relasi-relasi manusia berdasarkan asosiasi bebas.

Anarki bukan sekedar suatu proposisi negatif yang berkutat pada penolakan, tapi juga menggagas konstruksi relasi manusia yang (lebih) membebaskan. Elaborasi tentang konstruksi relasi sosial adalah perbedaan mendasar dalam praksis anarki dengan aliran-aliran politik lainnya. Proyek-proyek anarkis selalu menekankan pada relasi horisontal di antara para partisipannya, penekanan pada inisiatif individual dan pengembangan potensi individual. Anarki yang terbatas dalam ruang dan waktu, dipraktekkan dalam proyek-proyek anarkis -di mana cara (untuk mencapai tujuan) dan tujuan anarki- menjadi sesuatu yang terintegrasi dalam konteks-konteks tersebut.

Di sini pentingnya memaknai anarki, secara berbeda dengan isme-isme lainnya -bahwa anarki menolak doktrin absolut. Sekaligus ini adalah juga kritik terhadap anarki(sme) tradisional yang absolutis dengan cetak biru masa depannya. Bahkan kita dapat menemui artikulasi anarki sebagai kontinuitas perjuangan untuk memperluas lingkup kebebasan yang terus menerus tanpa suatu definisi akhir.

Di awal abad keduapuluh satu ini, teori anarki telah mengalami perkembangan dan pembaharuan, seiring dengan persinggungannya dengan teori-teori dari beragam displin ilmu sosial, di antaranya pengadopsian dan pengadaptasian pendekatan yang dikembangkan beragam wacana postrukturalis. Gerakan dan teori anarki dalam beberapa dekade ini, menjadi cukup lentur untuk “berbaur” dengan beragam gerakan yang secara umum disebut sebagai gerakan antiotoritarian dan gerakan sosial/politk baru, yang secara fundamental didasari pada politik nonhirarkis, desentralis, otonom dan swakelola.



Genealogi Kekuasaan.

Anggapan umum yang menyederhanakan anarki sebagai suatu aliran pemikiran yang hanya berurusan dengan pemusnahan negara adalah suatu bentuk pemiskinan terhadap kekayaan intelektual dan wawasan anarki. Anarki bukanlah semata-mata penentangan terhadap negara, tapi merupakan artikulasi tentang kekuasaan yang melandasi relasi manusia, tentang kritik pada hubungan-hubungan antara kekuasaan dan keterasingan manusia terhadap dirinya sendiri, tentang rekonstruksi kekuasaan dan relasi-relasi sosial.

Anarki bertitik tolak dari antagonisme antara kekuasaan/dominasi pada satu sisi dan kooperasi dan subyektifitas manusia (kekuasaan positif) pada sisi lainnya. Monarki-monarki merupakan bentuk kekuasaan absolut yang mendominasi rakyatnya pada zaman feodalisme; disusul oleh negara nasion (sebagai fenomena dominan dalam zaman modern) dalam bentuknya, oligarki dan totalitarian; sedangkan di sebagian besar wilayah di Asia dan Afrika terjadi dominasi oleh pemerintahan kolonial, sebelum wilayah-wilayah ini mencanangkan perjuangan-perjuangan kemerdekaan nasional, yang akhirnya juga membentuk negara nasion-negara nasion baru; saat ini, negara nasion dan neoliberal yang mengglobal, merupakan rezim-rezim yang mendominasi masyarakat secara simultan.

Anarkis awal di wilayah-wilayah Eropa, melontarkan banyak kritiknya terhadap negara, karena memang negara merupakan mode dominasi yang dominan pada waktu itu. Meskipun sebenarnya anarki melontarkan kritik-kritiknya terhadap konsentrasi kekuasaan, pada segala bentuk hirarki yang dikonstruksi secara sosial—pada hirarki laki-laki atas perempuan, tua terhadap muda, atasan terhadap bawahan dalam dunia kerja, pemimpin dan institusi moral terhadap konstituennya, dan lain sebagainya.

Negara menjadi tema sentral anarki karena negara memayungi beragam bentuk hirarki dan kekuasaan elitis, yang mempunyai dampak luas dan mendalam terhadap kehidupan sosial. Negara, dalam beragam bentuknya baik itu oligarki ataupun totalitarian, melalui birokrasi, menggunakan wewenangnya yang mengatur kehidupan mayoritas masyarakat, dan memonopoli kekerasan teroganisir (tentara dan polisi). Meskipun di tiap-tiap negara terdapat perbedaan-perbedaan spesifik pada derajat wewenang birokrasi negara, partisipasi masyarakat, keragaman jenis institusi sektoral di tiap-tiap negara dan bentuk-bentuk monopoli kekerasan, pada dasarnya negara merupakan bentuk sentralisasi kekuasaan oleh minoritas untuk mengatur kehidupan populasi mayoritas.

Dalam negara dengan demokrasi yang paling liberal sekalipun, sistem-sistem pemilihan wakil rakyat tetap tidak dapat mengubah wajah negara. Sejarah parlementarisme Amerika, negara yang dianggap demokratis, menyingkap fakta bahwa parlemen pada awalnya tidak lebih dari kumpulan para tuan tanah (yang pada waktu itu masih lengkap dengan budaknya). Dan mereka berbicara bagaimana sistem parlementarian merupakan sebuah sistem yang akan menjamin kebebasan tiap-tiap orang dan pada saat bersamaan dapat melanggengkan previlase-previlase politik dan ekonomi mereka.

Elitisme sistem parlementarian ditunjukkan juga oleh sejarah abad ke19 di Eropa. Di awal pembangunan sistem parlementarian, mayoritas anggota parlemen, adalah mereka yang ditunjuk oleh elit-elit yang berkekuasaan -anak-anak para tuan tanah, pengusaha, dan pengacara.

Walter Lippmann, seorang demokrat Amerika, ternyata juga seorang perintis apa yang dinamakan konsep mengenai rekayasa opini publik yang dia namakan order demokratis baru, yaitu demokrasi parlementer. Pertama ada peran yang diusung oleh mereka dari “kelas khusus”, ”orang yang bertanggung jawab”, yang mempunyai akses terhadap informasi dan pemahaman—baginya orang-orang inilah yang “bertanggung jawab” untuk membentuk “opini publik yang baik”, Mereka (yang tergabung dalam kelas khusus) berinisiatif, mengadministrasi dan menyelesaikan dan harus dilindungi dari ‘orang luar yang tidak mempunyai kesadaran dan rusuh’. Bagi Lippmann, bukanlah pada tempatnya bagi publik untuk memberikan penilaian, tapi cukup untuk sekedar memberikan ‘kekuasaan’ pada ‘orang-orang yang bertanggung jawab’.

Pada tahap lanjut perkembangan negara-nasion dan kapitalisme modern, praktek-praktek pengontrolan yang semakin sistematis diterapkan pada populasi, melalui beragam teknik pengontrolan, terutama ditujukan pada pengontrolan populasi dan kehidupan manusia/tubuh, melalui statistik dan probabilitas, terutama dalam bidang kesehatan masyarakat dan regulasi ancaman (resiko terhadap kehidupan populasi). Bentuk-bentuk pengontrolan yang termasuk pengelolaan keturunan (keluarga), pengumpulan dan pemetaan sistematis etnisitas dan agama masyarakat.

Negara, sebagai bentuk kekuasaan adalah relasi sosial—dari dirinya sendiri, negara tidak mempunyai kekuasaan—seluruh kekuasaannya berasal dari akumulasi kekuasaan yang diberikan warga negaranya dan dari waktu ke waktu negara mengambilalih lebih banyak kekuasaan dari warganya. Hukum, undang-undang, ritual kenegaraan dan seluruh citra kenegaraan—hanya bisa bermakna ketika terjadi “konsensus” (melalui pemaksaan, hegemoni dan secara subliminal[1] ) antara negara dan warganya. Seluruh asumsi tentang kekuasaan negara, terlepas dari kekuasaan yang diberikan oleh atau diambilalih dari masyarakat, secara bersamaan warga (negara)/masyarakat telah kehilangan kekuasaannya.

Negara/nasionalisme menggunakan loyalitas pada kesamaan bahasa, etnisitas, kultural dan tradisi, lalu mengerucutkannya pada bentuk-bentuknya yang chauvinis untuk melegitimasikan eksistensi negara dalam landasan yang seolah-olah merupakan pijakan bersama. Bentuk chauvinis, loyalitas tanpa batas inilah, yang menjadi esensi dari patriotisme, suatu bentuk keterasingan manusia (yang mengidap patriotisme) dari kesadarannya—kesadaran bahwa dia dan minoritas yang melanggengkan negara tidak mempunyai kepentingan-kepentingan umum. Seperti yang kita ketahui bahwa banyak sekali terjadi kontradiksi-kontradiksi dalam klaim-klaim negara nasion sebagai perluasan komunitas yang berpijak pada kesamaan biologis dan tradisi. Di sini kita dapat mengutip Benedict Anderson yang mendefinisikan nasion sebagai konstruksi sosial yang hanya berada pada tataran “dapat dibayangkan”, bagi mereka yang merasa menjadi bagian dari sebuah nasion. Negara nasion bisa dikatakan sebagai sebuah artefak yang mewarisi sejarah sistem dominasi manusia oleh manusia, tapi yang sampai sekarang masih mempunyai daya tarik yang sangat kuat dan belum dapat dilampaui.


Transformasi.

Pasca Perang Dunia Dua, masyarakat dunia hanya mengenal dua ideologi besar yaitu "demokrasi representatif" (kapitalisme pasar bebas) dan komunisme (yang secara esensi adalah kapitalisme negara, ketika representasi yang dikenal adalah Rusia, Cina, dan berbagai negara komunis yang menjadi satelit-satelitnya).

Penemuan kembali anarkisme salah satunya berkat jasa dari orang-orang kiri yang sedang melakukan pencarian alternatif-alenatif dari marxisme ortodoks. Situationist International yang berkembang di tahun 1960-1970-an merupakan kelompok-kelompok intelektual dan seniman-seniman avant-garde yang mencoba menjelaskan kapitalisme yang sedang mengalami transformasi. Menurut situasionis, alienasi yang dicermati oleh Marx telah menyusup ke setiap celah dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat tidak hanya terasing dari barang-barang yang diproduksinya, lebih jauh lagi masyarakat juga teralienasi dari kehidupannya dan hasratnya. Komoditas sebagai ciptaan yang mengalienasi, telah menguasai kehidupan sehari-hari. Kapitalisme moderen menciptakan "masyarakat tontonan" atau masyarakat konsumen yang menjanjikan kepuasan—sesuatu yang tidak pernah dipenuhinya. Revolusi Paris 1968 merupakan momen bagi para situasionis.

Di samping itu, adalah kritik Situasionist International terhadap anarkisme, pada kecenderungan beberapa pemikir anarkis yang bereksperimentasi dengan ide-ide melampaui realisasi praksis, sehingga seringkali teori anarkisme menjadi artikulasi teori yang tidak mempunyai koherensi.

Di Eropa, Autonomen Jerman Barat menciptakan militansi baru dalam resistensi urban. Para Autonomen adalah revolusioner antiotoritarian yang mengenyahkan seluruh label ideologis termasuk anarkis. Gerakan mereka diwarnai praksis aksi langsung, seperti pertarungan jalanan dengan elemen-elemen represif dan fasistik dalam masyarakat (seperti neo-nazi), pendudukan gedung-gedung kosong untuk dijadikan ruang-ruang otonom komunal. Di tahun 1988, dalam sebuah aksi merespon pertemuan IMF/Bank Dunia, Autonomen menggunakan taktik bercadar dalam protes dan melakukan perusakan properti—Black Bloc[2] pelopor yang kemudian menginspirasi banyak anarkis di kemudian hari.




Hakim Bey menerbitkan bukunya “Temporary Autonomous Zone: Ontological Anarchy, Poetic Terrorism” di pertengahan tahun 80-an. Boleh dikatakan bahwa buku ini menjadi suatu tonggak dalam diskursus dan praktek antiotoritarian. “Berhentilah berpikir tentang revolusi sosial yang akan datang.” Setiap revolusioner bisa mengobral janji revolusi tanpa bisa memberikan kepastian kapan ia akan datang. Sedangkan Hakim Bey bisa “menjanjikan” apa yang disebut uprising (yang bagi sejarawan adalah suatu revolusi cacat dan gagal). Uprising yang dirujuk di sini bukan hanya sebatas pagelaran politik spektakular, tapi juga mencakup hal-hal seperti penciptaan komunitas-komunitas otonom dan ruang-ruang yang dibebaskan—di mana komunitas dan individu dapat menerapkan utopia temporer. Temporary autonomous zone (zona otonom temporer) menjadi suatu konsep di mana ideal bertemu dengan realita—ketika konsep “revolusi yang akan datang” menjadi suatu hal yang absurd yang deminya manusia kembali mereproduksi hirarki, elitisme dan dominasi (seperti dalam “partai revolusioner”, serikat buruh birokratis dan bahkan serikat buruh sindikalis). Mungkin juga tidak ada sesuatu yang benar-benar baru yang ditawarkan di sini semenjak anarkis telah menerapkan konsep tentang pentingnya praksis anarki dalam kehidupan sehari-hari. Bey hanya membahasakannya dengan lebih lugas, menawarakan sintesa-sintesa baru tentang konsep anarki dan kaitannya dengan sejarah dan revolusi, menemukan kosa kata-kosa kata yang lebih pas dan meluaskan penjelasannya dengan data-data yang lebih lengkap tentang contoh-contoh TAZ yang terjadi sepanjang sejarah.

Anarkisme tradisional merupakan doktrin sosial yang menyerap ide-ide Pencerahan—penekanannya pada esensi tentang “sifat alamiah” manusia yang mulia dan rasional dan doktrinnya yang mencetuskan tujuan-tujuan yang positivis. Sementara postrukturalis adalah energi wacana kritis menantang ide-ide tentang sifat alamiah, esensi dan positivisme. Anarkisme juga mengintegrasikan analisis-analisis postrukturalis tentang simbol, representasi, dan pemaknaan dalam pengelolaan komunikasi dan informasi oleh kekuasaan dominan. Pendekatan-pendekatan postrukturalis menggagas pandangan kritis terhadap bahasa dalam konstruksi identitas, penyajian, dan pendistorsian isu-isu.



Kekuatan Kontra dan Konstruksi Resistensi.

Bagi kebanyakan orang, "neo-anarkisme" lahir dari rintik-rintik hujan dingin dan kabut beracun yang menyambut protes terhadap WTO, pada November 1999. Neo-anarkisme bukanlah anak haram dari gerakan sosial yang banyak bermunculan saat ini. Anarkisme sendiri telah bertransformasi selama beberapa abad. Aksi langsung di Seattle hanya merupakan sebuah momen yang memunculkan kembali anarkisme sebagai wacana publik. Anarkisme telah menyumbangkan praksis yang menarik perhatian banyak orang dalam momen historis Seattle. Sejak saat itu, anarkisme bukan saja turut membentuk gerakan antikapitalis kontemporer; anarkisme juga telah menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kebebasan berpotensi untuk menggantikan demokrasi representatif dan kapitalisme. Ke manakah anarki setelah Seattle?

Ketidakpastian-ketidakpastian muncul ketika kita tidak lagi ingin berpretensi tentang harapan berdasarkan determinisme positif pencerahan, dan juga ketika kita menolak segala bentuk pesimisme superior yang menihilkan seluruh kapasitas, potensi dan kemungkinan umat manusia mengkonstruksi masa depan yang lebih baik. Namun tanpa bersikap terlalu optimistis, setidaknya cukup beralasan untuk mengatakan dinamika yang ada masih terus menerus menghadirkan peluang dan potensi.

Ketika kita menolak determinisme sejarah/narasi megah, genealogi menyingkap sejarah sebagai antagonisme, diskontinuitas, ledakan-ledakan peristiwa, yang tidak memiliki logika universal. Di sini sejarah lepas dari segala bentuk determinisme, yang berarti bahwa masa depan berada dalam relung potensi dan kemungkinan—bahwa batas-batas tidak terdefinisikan. Memahami pembebasan sebagai suatu proses produksi dan reproduksi terus menerus yang berada dalam relung potensi untuk pengembangan dan artikulasi hasrat beragam subyektifitas. Narasi pembebasan ini harus menyediakan ruang-ruang yang berlimpah bagi eksperimentasi dan konstruksi, dekontruksi dan rekonstruksi, dalam teori dan praksis.

Dinamika pembebasan ini menolak ketunggalan dalam gerak, arah dan tujuan; menolak seluruh komando sentral; menolak segala jenis subordinasi pada hirarki; menolak seluruh jenis politik representasi dan mediasi. Tujuannya adalah pluralitas maksimum. Secara fundamental, konstruksi resistensi ini terkait dengan pembebasan kehidupan kontemporer. Ia bukan cakrawala mesianistis yang memberikan janji penebusan, bukan suatu mesin politik, yang demi mencapai tujuannya (nanti) akan mengorbankan yang sekarang. Ia adalah kendaraan kemanusiaan, yang ingin berpijak pada kondisi sekarang; yang ingin melampaui alienasi kehidupan sehari-hari manusia (hirarki, identitas representatif, separasi antara kehidupan sehari-hari dan hasrat-hasrat).

Setiap gerakan resistensi saat ini harus menjadikan dirinya sebagai proyek konstruksi komunitas-komunitas yang mampu menjadi wadah untuk mengelaborasi dan mengartikulasikan hasrat kemanusian. Bahwa segala jenis proyek resistensi ini harus mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang memang layak untuk dikembalikan dan mencipta nilai-nilai baru seiring dinamika dan konteks.

Catatan:
[1] Transmisi pesan yang disampaikan melalui bawah sadar manusia dan tidak terdeteksi oleh panca indera.

[2] Kolektif-kolektif anarkis yang menggunakan aksi langsung dalam pengrusakan properti dan vandalisme. Black Bloc menjadi terkenal dalam protes anti WTO, November 1999, di Seattle, Amerika.


Tantang Tirani - Homicide Lyrics

[Spoken]
Ini adalah monumen tengat kesabaran dan angkara
Satu barisan, ribuan mimpi
Titik berangkat yang tak pernah dapat kami datangi kembali
Terbuang serupa fotokopian pamflet aksi di setiap perempatan
Harapan kami akan berakumulasi menyaingi nyalak senapan kalian!
Kami merayap dalam lamat menyaingi hantu-hantu pesakitan
Hingga waktu kalian mencapai tengat…

[Song]
Titipan angkara mereka yang tak bisa lagi bersuara
Ini muara seluruh murka lawas yang kehilangan nyawa
Dalam hitungan langkah kami akan isi angkasa
Dengan ribuan pekik yang sama saat kalian terbakar bersama bara
Terlalu kentara manuver mereka memplot penjara
Hukum, moral, kebebasan, batas surga dan neraka
Merancang kontrol bawah sadar serupa bius pariwara
Menjagai setiap inci palang pintu modal dengan tentara

Sebelum waktu yang banal jumud berkanal
Semua momen heroik yang tak pernah tercatat dalam tanggal
Biarkan mereka lafaz semua peringatan yang mereka hafal
Setiap ayat pasal karet pertahanan para tiran berpangkal

Kebebasan yang datang saat kau tak memiliki lagi harapan
Saat opsi tersisa adalah berdiri menantang para tiran
Saat momen terhidup dalam hidupmu adalah memasang badan di tengah medan
Kawan, mana kepalan kalian?!

[Chorus]
Serupa biksu Burma di hadapan moncong senapan
Serupa malam Januari yang menandai Chiapas
Serupa seruan Chavez di depan muka Amerika
Serupa tangan Intifadha yang melempar batu di Palestina
Serupa siklus ronta kota pasca Genoa
Serupa rudal Hizbullah di daerah pendudukan
Serupa rahim setiap ibu yang melahirkan para kombatan 
yang menantang setiap tiran di titik nadir perhitungan

[Song]
Kami menolak menjadi bidak, sekedar sekrup dan tumbal
Target pemasaran sampah industri kapitalis global
Sekedar hidup lurus dalam dikte penguasa arus
Sekedar kalian tahu kami akan bertahan sampai mampus

Kalian awetkan hegemoni dengan balsam mumi anti-teror
Kombinasi intel dan preman menebar horor

Kalian kerangkeng kami dengan pembenaran semantik
Kami rancang kalam puitik
yang lebih bersenjata dari ribuan manifesto politik

Kaya semakin kaya, miskin semakin papa
Kalian dapat berlindung di balik ocehan nasib dan samsara
Lakukan apapun termasuk menjadi tuhan
Kami akan berdiri di sini, tak sendiri, hingga nafas penghabisan

Kebebasan yang datang saat kau tak memiliki lagi harapan
Saat opsi tersisa adalah berdiri menantang para tiran
Saat momen terhidup dalam hidupmu adalah memasang badan di tengah medan
Kawan, mana kepalan kalian?!

[Chorus]
Serupa kesabaran terakhir para buruh di palang pintu pabrik
Serupa panen terakhir para petani penggarap
Serupa tengat miskin kota di ujung penggusuran
Serupa pilihan terakhir Pasifis di hadapan kekejaman aparat
Serupa harapan mereka yang tak bisa lagi berharap
Serupa pilihan terakhir keluarga korban kekerasan negara
Serupa rahim setiap ibu yang melahirkan para kombatan
yang menantang setiap tiran di titik nadir perhitungan

[Spoken II]
Kami akan bangun kembali godam dari reruntuhan dan berangkal harapan
Keyakinan yang menyaingi semua manual langitan
Esok akan terlalu terlambat, hari ini atau tidak sama sekali!
Meski kalian coba bunuh kami berkali

kami akan lahir berkali bergenerasi
Harapan meski sebutir pasir di lautan
yang menyapa setiap kawan
Dan menagih setiap jemari yang pernah menjanjikan kepalan
Untuk menggetarkan nyali para tiran!

[Soundclip dari orasi di lapangan]
Kawan-kawan, dengarkan kawan-kawan!
Komando ada di tangan saya, jangan terpancing provokasi!
Kawan-kawan, tunjukkan pada mereka
kita tak akan bergeming hari ini, kawan-kawan!

Komando ada di tangan saya. Satu langkah untuk pembebasan!
Hitung mundur dari sekarang...!!!